BAB II
PEMBAHASAN
Teori
Pendidikan Multikultural yang ditemukan oleh para ahli
Para
pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang multikultural. Dibawah ini
terdapat berbagai teori Pendidikan Multikultural yang di kemukakan oleh para
ahli.
1. Horace
Kallen
Menurut pandangan Horace kallen yaitu Jika budaya suatu bangsa
memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut
pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini
dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan
definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi
masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba
mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika
Serikat itu penting dan masing-masing berkontribusi unik menambah variasi dan
kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika. Teori Kallen mengakui bahwa budaya
yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam konteks ini Kallen tetap
mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai budaya yang dominan, sementara
budaya-budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya
Amerika.
WASP adalah
istilah sosiologis Amerika Utara yang berasal dari singkatan White Anglo-Saxon
Protestant. WASP adalah sebuah julukan yang mengacu pada kaum berkulit putih di
Amerika ,yang umumnya merupakan keturunan British, dan menganut agama Kristen
protestan. Istilah ini menyiratkan sekelompok masyarakat elit tertutup yang
memiliki kekayaan dan gelar hak istimewa di Amerika Utara dan Northwestern.
Pada awalnya, istilah ini dibawa oleh orang-orang British yang merasa lebih
superior dari bangsa manapun. Kemudian, istilah ini ikut berkembang di Amerika
namun, istilah ini tidak diperuntukan bagi kelompok minoritas pendatang seperti
Yahudi, kaum kulit hitam, penduduk Indian asli Amerika, penduduk beragama
katolik dan masyarakat Asia. Istilah ini juga digunakan di Australia dan Kanada
untuk elit yang sama. Dalam hampir seluruh sejarah Amerika, kaum WASP ini
banyak memerintah bangsa Amerika dan bahkan keturunan WASP ini menjadi founding
father kemerdekaan Amerika.
2. James
A. Banks
James
A. Banks di kenal sebagai perintis pendidikan multikultural. Karena penekanan
dan perhatiannya yang di fokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa
sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir dari
pada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus diajar memahami
semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge
construction) dan interpretai yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa
yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam
membicarakan konstuksi pengetahuan.
Siswa
seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam
pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past history in the
making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa
mereka sebenarnya memiliki interpretai sendiri tentang peristiwa masa lalu yang
mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain.
Misalnya, mengapa sampai terjadi perang diponegoro pada tahun 1825-1830. Salah
satu sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam di
daerah Tegal rejo, yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati oleh
masyarakat sekitar pada waktu itu. Dari
sudut pandang Belanda tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan
dan sudut pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan
dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak setinggi
putera permaisuri. Namun sudut pandang apapun yang digunakan sebagai motif yang
melatarbelakanginya perang diponegoro. Sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita
sebagai putera bangsa, kita memandang perjuangan Diponegoro itu sebagai
perjuangan seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan
bangsa asing. Singkatnya, siswa harus menjadi pemikir kritis (cricital
thinkers) dengan selalu menambah pengetahuan dan keterampilan, disertai komitmen
yang tinggi. Semua itu diperlukan untuk
berpartisipasi dalam tindakan demokratis.
Dengan landasan ini, mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri
kesenjangan antara ideal dan relitas. (banks, 1993).
Didalam
The Canon Debatc, Knowledge Construction,
And Multicultural Education, Banks
mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti
keberadaan kelompok-kelompok budaya di Amerika Serikat:
Pertama, adalah tradisionalis
Barat. Tradisionalis Barat seperti halnya dengan kelompok pluralisme budaya
dari Horace Kallen, meyakini bahwa budaya yang dominan dari peradaban Barat
yaitu kelompok White, Anglo Sexon Protestan perlu dipresentasikan secara
menonjol di sekolah. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada dalam posisi
terancam dan berbahaya karena mengeyampingkan kelompok feminis, minoritas, dan
reformasi multikultural yang lain. Namun, tidak seperti kelompok Pluralisme
Budatya Horace Kallen, Tradisional Barat masih sedikit memberi perhatian pada
pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
Kedua,
yaitu mereka yang menolak kebudayaan barat secara berlebihan, yaitu kelompok
afrosentris. Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian kelompok lain itu memang
benar terjadi dan kelompok ini berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang Afrika lah yang eharusnya
menjadi sentral dari kurikulum agar semua sisa dapat mempelajari peranan Afrika
dalam perkembangan peradaban Barat. Afrosentris juga meyakini bahwa sejarah dan
budaya orang Afrika seharusnya menjadi sentral dalam kurikulum untuk memotivasi
siswa Afrika Amerika dalam belajar.
Ketiga,
Multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk
lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan wanita.
Kita
sebagai bangsa Indonesia boleh berbangga karena bangsa kita pernah dipimpin
oleh seorang presiden wanita sementara negara superpower seperti AS yang
memproklamasikan dirinya sebagai negara paling demokratis ini masih sedang
mempertanyakan posisi wanita dalam kancah pertarungan politik di tingkat
tertinggi, presiden wanita di Amerika Serikat.
3. Bill
Martin
Dalam
tulisannya yang berjudul Multiculturalism:
consumerist or transformational?,
Bill Martin menulis bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan
pertanyaan tentang”perbedaan” yang nampak sudah dilakukan berbagai teori
filsafat atau teori sosial. Ebagai agenda sosial dan politik, jika
multikulturalisme lebih dari sekdar tempat bernaung berbagai kelompok yang
berbeda, maka harus benar-benar menjadi “pertemuan” dari berbagai kelompok itu
yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua mat manusia lewat
pembuatan perbedaan yang radikal (Martin,1998: 128).
Seperti
halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis Barat.
Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu sebagai consumerist multiculturalism.
Selanjutnya, Martin mngusulkan sesuatu yang baru. Multikulturalisme bukan “konsumeris” tetapi
“transformational”, yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa
disamping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain yang berbeda,
diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat
harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju
multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi.
Martin
memandang perlu adanya perubahan yang mendasar diantara kelompok-kelompok
budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan
bersama. Untuk mencapai tujuan itu
sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar berbagai segi pandang yang
berbeda.
4. Martin
J. Beck Matustik
Martin
J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat multikultural
dimasyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustik mengatakan “semua
segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma
Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah
benar-benar nyata adanya”(Matustik, 1998). Dalam artikelnya, “ludic, corporate
and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and Cartographers of the
New World Order.” Matustik menulis “perang budaya, polik dan ekonomi yang
menyerang pada segi yang mana, bagaimana dan lewat siapa sjarah multikultural
dijelaskan.”
Matustik
mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal yang semuanya
mengarah kembali ke libarisasi pendidikan dan politik plato, filsuf yunani.
Ebuah karya plato yang berjudul “republik”, bukan hanya memberi norma politik
dan akademis klaik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun
juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikan bagii yang
tertindas (Matustik,1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan
multikultural baru (a new multicultural
enlightenment) yaitu”multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secaa
global sebagai lawan dari monokultur nasional” (Matustik,1998).
5. Judith
M. Green
Green
menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. negara lain pun
harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda. Ecara
unik, Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan merka mempengaruhi
kbudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan,
membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja namun, akhir abad
20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat “memerangi kebutuhan yang
memerlukan pemikiran kembali yang baru dan lebih dalam tentang tujuan dan
materi pendidikan dalam suatu masyarakat yang masih terus diharapkan dan
dicita-citakan yang dibimbing oleh ide demokrai”(Green,1998). Bangsa ini selalu
memandang pendidikan sebagai perubahan yang efektif, baik secara personal
maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar
dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa melihat bahwa kita sekarang
adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika yang sejak kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural
dimana berbagai budaya telah bersatu lat perjuangan, interaksi, dan kerjasama
(Green,1998).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Horace
Kallen adalah perintis teori multikultur. Budaya disebut pluralisme budaya
(cultural pluralism) jika budaya suatu bangsa memilki banyak segi dan
nilai-nilai. Pluralisme budaya didefinisikan oleh Horace Kallen sebagai
menghargai berbagai tingkat perbedaan dalam batas-batas persatuan nasional. Sebagai
budaya yang dominan, white anglo-sexon. Protestan harus diakui masyarakat,
sedangkan budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya
Amerika.
James
A.banks dikenal sebagai perintis pendidikan multikultural. Ada tiga kelompok
budaya di Amerika: pertama, tradisionalis Barat, sebagai budaya yang dominan
dari peradaban barat. Kedua, kelompok Afrosentris, yang menolak kebudayaan
barat secara berlebihan dan menganggap sejarah dan budaya orang Afrika
seharusnya menjadi sentral dari kurikulum. Ketiga, kelompok multikulturalis
yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi
perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan tentang wanita.
Bill
Martin menulis bahwa isu menyeluruh tentang multikulturalisme bukan sekedar
tempat bernaungberbagai kelompok budaya. Namun harus membawa pengaruh radikal
bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal. Martin juga
menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis barat.
Martin
J. Benks Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang multikultural di
masyarakat barat berkaitan dengan norma/tatanan. Teori multikulturalisme
berasal dari liberaliisasi pendidikan dan politik plato.
Judith
M. Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya di AS. Kelompok budaya
kecil harus mengakomodasi dan memiliki toleransi dengan budaya dominan. Amerika
memberi tempat perlindungan dan memungkinkan kelompok kecil itu mempengaruhi
kebudayaan yang ada. Secara bersama-sama, kelompok tersebut memperoleh kekuatan
dan kekuasaan untuk membawa perubahan dan peningkatan dalam ekonomi,
partisipasi politis dan media massa. Untuk itu diperlukan pendidikan dan lewat
pendidikanlah Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi dan sejak kelahirannya
Amerika selalu memliki masyarakat multikultural yang telah bersatu lewat
perjuangan, interaksi, dan kerjasama.
B. Saran
Dengan adanya pendidikan multikultural
semoga warga Indonesia semakin memahami kebudayaan yang kita miliki. Guru
sebagai fasilisator harus membantu murid untuk mencapai tingkat pemehamannya. Pada sekolah dasar sampai perguruan tinggi saat ini
seharusnya diadakan pembelajaran yang berbasis budaya agar budaya milik negara
kita tidak punah atau di klaim oleh bangsa lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar