Laman

Sabtu, 16 Juli 2016

Teori Pendidikan Multikultural

BAB II 
PEMBAHASAN

Teori Pendidikan Multikultural yang ditemukan oleh para ahli
Para pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang multikultural. Dibawah ini terdapat berbagai teori Pendidikan Multikultural yang di kemukakan oleh para ahli.

1.      Horace Kallen
Menurut pandangan Horace kallen yaitu Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing berkontribusi unik menambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika. Teori Kallen mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam konteks ini Kallen tetap mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
WASP adalah istilah sosiologis Amerika Utara yang berasal dari singkatan White Anglo-Saxon Protestant. WASP adalah sebuah julukan yang mengacu pada kaum berkulit putih di Amerika ,yang umumnya merupakan keturunan British, dan menganut agama Kristen protestan. Istilah ini menyiratkan sekelompok masyarakat elit tertutup yang memiliki kekayaan dan gelar hak istimewa di Amerika Utara dan Northwestern. Pada awalnya, istilah ini dibawa oleh orang-orang British yang merasa lebih superior dari bangsa manapun. Kemudian, istilah ini ikut berkembang di Amerika namun, istilah ini tidak diperuntukan bagi kelompok minoritas pendatang seperti Yahudi, kaum kulit hitam, penduduk Indian asli Amerika, penduduk beragama katolik dan masyarakat Asia. Istilah ini juga digunakan di Australia dan Kanada untuk elit yang sama. Dalam hampir seluruh sejarah Amerika, kaum WASP ini banyak memerintah bangsa Amerika dan bahkan keturunan WASP ini menjadi founding father kemerdekaan Amerika.

2.      James A. Banks
James A. Banks di kenal sebagai perintis pendidikan multikultural. Karena penekanan dan perhatiannya yang di fokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir dari pada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretai yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstuksi pengetahuan.
 
Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretai sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya, mengapa sampai terjadi perang diponegoro pada tahun 1825-1830. Salah satu sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam di daerah Tegal rejo, yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati oleh masyarakat sekitar pada waktu itu.  Dari sudut pandang Belanda tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan dan sudut pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak setinggi putera permaisuri. Namun sudut pandang apapun yang digunakan sebagai motif yang melatarbelakanginya perang diponegoro. Sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita sebagai putera bangsa, kita memandang perjuangan Diponegoro itu sebagai perjuangan seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Singkatnya, siswa harus menjadi pemikir kritis (cricital thinkers) dengan selalu menambah pengetahuan dan keterampilan, disertai komitmen yang tinggi.  Semua itu diperlukan untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis.  Dengan landasan ini, mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri kesenjangan antara ideal dan relitas. (banks, 1993).
Didalam The Canon Debatc, Knowledge Construction, And Multicultural Education,  Banks mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti keberadaan kelompok-kelompok budaya di Amerika Serikat:
Pertama, adalah tradisionalis Barat. Tradisionalis Barat seperti halnya dengan kelompok pluralisme budaya dari Horace Kallen, meyakini bahwa budaya yang dominan dari peradaban Barat yaitu kelompok White, Anglo Sexon Protestan perlu dipresentasikan secara menonjol di sekolah. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada dalam posisi terancam dan berbahaya karena mengeyampingkan kelompok feminis, minoritas, dan reformasi multikultural yang lain. Namun, tidak seperti kelompok Pluralisme Budatya Horace Kallen, Tradisional Barat masih sedikit memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
Kedua, yaitu mereka yang menolak kebudayaan barat secara berlebihan, yaitu kelompok afrosentris. Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian kelompok lain itu memang benar terjadi dan kelompok ini berpendapat bahwa sejarah dan  budaya orang Afrika lah yang eharusnya menjadi sentral dari kurikulum agar semua sisa dapat mempelajari peranan Afrika dalam perkembangan peradaban Barat. Afrosentris juga meyakini bahwa sejarah dan budaya orang Afrika seharusnya menjadi sentral dalam kurikulum untuk memotivasi siswa Afrika Amerika dalam belajar.
Ketiga, Multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan wanita.
Kita sebagai bangsa Indonesia boleh berbangga karena bangsa kita pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita sementara negara superpower seperti AS yang memproklamasikan dirinya sebagai negara paling demokratis ini masih sedang mempertanyakan posisi wanita dalam kancah pertarungan politik di tingkat tertinggi, presiden wanita di Amerika Serikat.


3.      Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: consumerist or transformational?, Bill Martin menulis bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang”perbedaan” yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Ebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekdar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi “pertemuan” dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua mat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin,1998: 128).
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis Barat. Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu sebagai consumerist multiculturalism. Selanjutnya, Martin mngusulkan sesuatu yang baru.  Multikulturalisme bukan “konsumeris” tetapi “transformational”, yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa disamping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain yang berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi.
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar diantara kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan bersama. Untuk mencapai tujuan itu  sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar berbagai segi pandang yang berbeda.

4.      Martin J. Beck Matustik
Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat multikultural dimasyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustik mengatakan “semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar-benar nyata adanya”(Matustik, 1998). Dalam artikelnya, “ludic, corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and Cartographers of the New World Order.” Matustik menulis “perang budaya, polik dan ekonomi yang menyerang pada segi yang mana, bagaimana dan lewat siapa sjarah multikultural dijelaskan.”
Matustik mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal yang semuanya mengarah kembali ke libarisasi pendidikan dan politik plato, filsuf yunani. Ebuah karya plato yang berjudul “republik”, bukan hanya memberi norma politik dan akademis klaik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikan bagii yang tertindas (Matustik,1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural  baru (a new multicultural enlightenment) yaitu”multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secaa global sebagai lawan dari monokultur nasional” (Matustik,1998).

5.      Judith M. Green
Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. negara lain pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda. Ecara unik, Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan merka mempengaruhi kbudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan, membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja namun, akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat “memerangi kebutuhan yang memerlukan pemikiran kembali yang baru dan lebih dalam tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu masyarakat yang masih terus diharapkan dan dicita-citakan yang dibimbing oleh ide demokrai”(Green,1998). Bangsa ini selalu memandang pendidikan sebagai perubahan yang efektif, baik secara personal maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika yang sejak kelahirannya,  selalu memiliki masyarakat multikultural dimana berbagai budaya telah bersatu lat perjuangan, interaksi, dan kerjasama (Green,1998).

BAB III 
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Horace Kallen adalah perintis teori multikultur. Budaya disebut pluralisme budaya (cultural pluralism) jika budaya suatu bangsa memilki banyak segi dan nilai-nilai. Pluralisme budaya didefinisikan oleh Horace Kallen sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaan dalam batas-batas persatuan nasional. Sebagai budaya yang dominan, white anglo-sexon. Protestan harus diakui masyarakat, sedangkan budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
James A.banks dikenal sebagai perintis pendidikan multikultural. Ada tiga kelompok budaya di Amerika: pertama, tradisionalis Barat, sebagai budaya yang dominan dari peradaban barat. Kedua, kelompok Afrosentris, yang menolak kebudayaan barat secara berlebihan dan menganggap sejarah dan budaya orang Afrika seharusnya menjadi sentral dari kurikulum. Ketiga, kelompok multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan tentang wanita.
Bill Martin menulis bahwa isu menyeluruh tentang multikulturalisme bukan sekedar tempat bernaungberbagai kelompok budaya. Namun harus membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal. Martin juga menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis barat.
Martin J. Benks Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang multikultural di masyarakat barat berkaitan dengan norma/tatanan. Teori multikulturalisme berasal dari liberaliisasi pendidikan dan politik plato.
Judith M. Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya di AS. Kelompok budaya kecil harus mengakomodasi dan memiliki toleransi dengan budaya dominan. Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan kelompok kecil itu mempengaruhi kebudayaan yang ada. Secara bersama-sama, kelompok tersebut memperoleh kekuatan dan kekuasaan untuk membawa perubahan dan peningkatan dalam ekonomi, partisipasi politis dan media massa. Untuk itu diperlukan pendidikan dan lewat pendidikanlah Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi dan sejak kelahirannya Amerika selalu memliki masyarakat multikultural yang telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama.


B.     Saran
Dengan adanya pendidikan multikultural semoga warga Indonesia semakin memahami kebudayaan yang kita miliki. Guru sebagai fasilisator harus membantu murid untuk mencapai tingkat pemehamannya. Pada sekolah dasar sampai perguruan tinggi saat ini seharusnya diadakan pembelajaran yang berbasis budaya agar budaya milik negara kita tidak punah atau di klaim oleh bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar